Sabda yang Menubuh
Oleh: Abdul Hofar
Dalam puisi yang berjudul “Di Atas Meja” ini mengandung makna yang erat kaitannya dengan masalah yang ada di masyarakat. Sosiologi sastra sebagai pendekatan yang mempelajari karya sastra dengan mempertimbangkan hubungannya dengan masyarakat. Maka pendekatan sosiologi ini sangat relevan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam tiap-tiap lariknya. Berikut adalah Teks lengkap dari puisi “Di Atas Meja” yang dikutip dari buku “Selamat Menunaikan Ibadah Puisi” Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2016.
Puisi di Atas Meja
Di atas meja kecil ini
Masih tercium harum darahmu
Di halaman-halaman buku.
Sabda sudah menjadi saya
Saya akan dipecah-pecah
Menjadi ribuan kata dan suara .
(Joko Pinurbo,1990)
Di atas meja kecil ini, merupakan larik pembuka dari bait pertama puisi ini, dengan penggunaan
kata meja dalam larik ini sudah merujuk pada isu sosial yang ada di
masyarakat, meja dapat bermakna sebagai tempat untuk berbagi dan tempat
menciptakan momen ikatan antar individu serta kebersamaan dalam konteks sosial.
Hal ini dapat di dukung dengan adanya larik kedua“Masih tercium harum
darahmu”, di mana dalam larik ini merepresentasikan tentang
kehadiran seseorang yang abadi meskipun fisiknya sudah tidak lagi ada, hal ini
menyoroti bagaimana jejak seseorang yang masih dikenang. Bahkan, aroma darah
yang terhidu oleh si aku-lirik, masih ada “di halaman-halaman buku”. Ini
cukup cerah, jika kita menilik larik selanjutnya yang memperjelas makna dari larik-larik sebelumnya. Dalam
bait pertama ini, nampaknya penggunaan sudut pandang orang pertama (aku-lirik)
mengalami kesadaran arus balik yang terjadi dengan dirinya sebagai subjek.
Apakah benar demikian? Mari beranjak pada bait
berikutnya. “Sabda sudah menjadi saya” . Klausa “sabda” secara gamblang
memiliki makna kata, namun pada lanjutan kalimatnya ia dijelmakan sebagai aku
yang menubuh (aku-lirik). Apakah sabda yang dimaksud adalah wahyu yang menjelma
tubuh ala kisah Yesus dalam Al-Kitab? Mari perhatikan baik-baik apa yang akan
segera muncul dari sudut pandang Al-kitab.
Dalam kitab wahyu yang menyingkap ihwal perwahyuan ayat
1:1 menggaungkan bahwa kitab ini adalah wahyu Yesus yang menubuh. Bisa
diartikan klausa “sabda” merupakan hasil representasi dari wahyu di muka. Wahyu
sendiri diyakini adalah pesan yang diturunkan oleh sang ilahi. Sedangkan
polemik-polemik ihwal Yesus sebagai Wahyu yang berbentuk tubuh telah lama
diyakini oleh kaum kristen. Jadi, akan ke mana sebenarnya puisi ini membawa
pembaca? Entahlah. Tapi, mari kita lihat larik selanjutnya.
“Saya akan dipecah-pecah” tidak semata-mata
menggambarkan tubuh manusia secara biologis yang dipecah menjadi beberapa
bagian. Mungkin larik tersebut jika dikatakan secara gamblang, memang iya.
Tapi, jika mengaca pada pembahasan sebelumnya, klausa “saya” sebenarnya adalah
wahyu yang tadi menubuh ke dalam bentuk Yesus. Namun, “dipecah-pecah” secara implisit ingin menyampaikan bahwa yang
dipecah itu adalah “disebar”. Mengapa disebar? Hal ini berdasarkan pendapat
pribadi dan mungkin secara umum, bahwa wahyu tidak begitu saja turun kepada
semua umat manusia. Artinya, jika kita mencoba menarik garis horizontal, Yesus
sang jelmaan wahyu dianjurkan untuk menyebar wahyu-wahyu yang ia terima
langsung dari sang ilahi. Jadi, frasa yang “dipecah-pecah” merupakan
sebuah penyebaran kepada khalayak umum atau umat melalui Yesus—jika berkaca
pada sudut pandang orang kristen.
Pada larik terakhir, dalam bait terakhir yang berbunyi “menjadi
ribuan kata dan suara” secara tak nampak, adalah bagaimana wahyu tadi
menyebar dan kini disuarakan oleh golongan tertentu. Alasan mengasumsikan ihwal
tersebut karena hal ini selaras dengan pembahasan sebelumnya yang
menganalogikan dua larik tersebut sebagai wahyu menubuh menurut kepercayaan
orang kristen. Yang memperkuat alasan serta berani menganalogikan hal demikian, yaitu karena
pengarangnya sendiri adalah orang kristen. Tapi dalam hal ini tidak sedang
membicarakan Joko Pinurbo, karena kajian ini memang memfokuskan pada sosiologi
karya yang benar-benar menafsirkan berdasarkan teks.
Kembali ke topik utama, yaitu larik terakhir sekaligus
pamungkas dalam puisi ini, “menjadi ribuan kata dan suara”. Frasa
tersebut bisa dianalogikan sebagai penegasan yang merujuk pada wahyu tadi artinya telah
tersebar dan banyak disuarakan oleh golongan tertentu. “Menjadi ribuan kata”
adalah frasa yang merujuk pada wahyu yang mulanya disampaikan oleh Yesus kini
telah tersebar ke penjuru dunia. “kata” yang dimaksud adalah wahyu yang
berbentuk tubuh. Namun, penggunaan diksi kata adalah untuk menyembunyikan makna
sebenarnya dari pikiran pembaca. Sedangkan klausa “suara” memiliki arti yang
menyiratkan bahwa wahyu itu kini tidak hanya tertulis, namun juga telah
disuarakan dan digumamkan oleh kaum-kaum kristen.
Secara keseluruhan, puisi ini ingin menyampaikan ihwal
Yesus yang mana pada sebagian golongan kristen, ia diyakini sebagai sebuah
wahyu yang berbentuk tubuh manusia. Meskipun, sebenarnya banyak asumsi lain
yang mengatakan bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan lain-lain. Namun, jika
dilihat dari kacamata persona, karya ini seolah-olah ingin menggaungkan aliran
kristen yang ingin menggaungkan bahwa Yesus adalah bentuk wahyu yang diturunkan
sang ilahi ke dalam bentuk tubuh manusia.